ULUMUL QUR'AN
Metode Penafsiran Al-Qur'an
Refisi
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ulumul Qur'an
Dosen Pengampu : Afga Sidiq Rifa'i, S.Pd , M.Pd
Disusun Oleh
:
Zumrothus
Sholichah (16.0401.0040)
Rohmi Atin (16,0401.0035)
Siwi Mukhti Wati (16.0401.00)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAGELANG
2016
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam konteks pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang
harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat
al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat
kaidah yang seharusnya dipakai oleh mufassir (penafsir) ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Quran.
Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan
perubahan sosial yang selalu dinamik. Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan
kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas
al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak, para mufassir harus
menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Quran yang berbeda-beda.
Apabila diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran
al-Quran akan menentukan hasil penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan
menghasilkan pemahaman yang tepat, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang
teramat penting di dalam tatanan ilmu tafsir, karena tidak mungkin sampai
kepada tujuan tanpa menempuh jalan yang menuju ke sana.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi
penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu
manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi,
dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan
pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan
sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Quran itu. Sehingga
al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas
al-Quran. Setiap kali kita mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali
telah hafal ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran
al-Quran dalam ibadah ritual maupun muamalah. Berbagai istilah, seperti: sabar,
tawakkal, amal, ilmu, salam, bismillâhirrahmânirrahîm, juga diucapkan sebagai
bahasa nasional dan bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat
jauh berbeda dari masa lalu. Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat
akrab dengan bahasa al-Quran, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak
menguasai bahasa arab.
1. Menjelaskan tentang pengertian
metode ijmali (Global) dan ciri-cirinya
2. Menjelaskan pengertian metode
tahliliy (analisis) dan ciri-cirinya
3. Menjelaskan pengertian metode
mawdhu’iy (tematik) dan ciri-cirinya
4. Menjelaskan pengertian metode
muqorin (komperatif)
·
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain
·
Membandingkan ayat
dengan Hadits
·
Membandingkan pendapat
para mufasir
·
Ciri-ciri Metode Muqarin
BAB 2 PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang
membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman
yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan
tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja
ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks
dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks
yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks
itu muncul.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu
sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran
Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan
Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan),
dan mawdhu’iy (tematik).
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan
enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa
AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar
Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global)
antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi,
al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir
al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
b. Ciri-ciri
Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam
Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir
lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam
metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa
itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan
kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya;
namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi
tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi
yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan
bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu : Al-Tafsir bi al-Ma’tsur,
Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir
al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan
bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya :
kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah
dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ
يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ
هُمۡ يُوقِنُونَ ٤ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدٗى مِّن رَّبِّهِمۡۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥(البقرة : 5-3)
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib,
mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada
mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk
dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”
b. Ciri-ciri
Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan
metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh,
baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran
tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari ayat-ayat yang
ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk
ma’tsur (riwayat) atau ra’iy (pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil
bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
·
Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari dan terkenal dengan Tafsir
al-Thabari.
·
Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi
·
Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
·
Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi
Adapun tafsir tahlili yang
mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
·
Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
·
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
·
Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
·
Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
·
Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
·
Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
·
Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai
aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya.
Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil
atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu
berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
b. Ciri-ciri
Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema,
judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode
ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu
sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu
dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang
guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak
ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
·
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
·
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
·
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
·
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing;
·
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
·
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan
pokok bahasan;
·
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak
danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
Metode Muqarin (Komparatif)
a. Pengertian
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai
berikut :
1) Membandingkan teks (nash)
ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama;
2) Membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
3) Membandingkan berbagai
pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu:
b. Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu
ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau
kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah
atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi
redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai berikut :
1)
Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ
وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ
ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ
ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang
sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
قُلۡ أَنَدۡعُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ
مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَىٰٓ أَعۡقَابِنَا بَعۡدَ إِذۡ
هَدَىٰنَا ٱللَّهُ كَٱلَّذِي ٱسۡتَهۡوَتۡهُ ٱلشَّيَٰطِينُ فِي ٱلۡأَرۡضِ حَيۡرَانَ
لَهُۥٓ أَصۡحَٰبٞ يَدۡعُونَهُۥٓ إِلَى ٱلۡهُدَى ٱئۡتِنَاۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى
ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۖ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti)
ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
2)
Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ
أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٦
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak
akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
وَسَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ
ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ١٠
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman” (QS : Yasin: 10)
3)
Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا
مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ
وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١٢٩
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan
mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ
رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ
وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي
ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS.
Al-Jumu’ah : 2)
4)
Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte
noun), seperti :
فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ
هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٦
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ
ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٠٠
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
5)
Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
وَقَالُواْ لَن تَمَسَّنَا ٱلنَّارُ
إِلَّآ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَةٗۚ قُلۡ أَتَّخَذۡتُمۡ عِندَ ٱللَّهِ عَهۡدٗا فَلَن
يُخۡلِفَ ٱللَّهُ عَهۡدَهُۥٓۖ أَمۡ تَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
٨٠
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali
selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُواْ لَن
تَمَسَّنَا ٱلنَّارُ إِلَّآ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۖ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api
neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
6)
Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
وَإِذۡ قُلۡنَا ٱدۡخُلُواْ هَٰذِهِ
ٱلۡقَرۡيَةَ فَكُلُواْ مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ رَغَدٗا وَٱدۡخُلُواْ ٱلۡبَابَ
سُجَّدٗا وَقُولُواْ حِطَّةٞ نَّغۡفِرۡ لَكُمۡ خَطَٰيَٰكُمۡۚ وَسَنَزِيدُ
ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٨
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
وَإِذۡ قِيلَ لَهُمُ ٱسۡكُنُواْ
هَٰذِهِ ٱلۡقَرۡيَةَ وَكُلُواْ مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ وَقُولُواْ حِطَّةٞ
وَٱدۡخُلُواْ ٱلۡبَابَ سُجَّدٗا نَّغۡفِرۡ لَكُمۡ خَطِيٓـَٰٔتِكُمۡۚ سَنَزِيدُ
ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٦١
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
7)
Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ
مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ
ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡٔٗا
وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS.
Al-Baqarah : 170)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ
مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ
ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ يَدۡعُوهُمۡ إِلَىٰ عَذَابِ
ٱلسَّعِيرِ ٢١
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS.
Luqman : 21)
8)
Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf
lain), seperti :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمۡ شَآقُّواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥۖ وَمَن
يُشَآقِّ ٱللَّهَ فَإِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٤
Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang
Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda
redaksi ditempuh beberapa langkah :
a) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam
kasus berbeda,
b) Mengelompokkan ayat-ayat itu
berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya,
c) Meneliti setiap kelompok ayat
tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat
bersangkutan,
d) Melakukan perbandingan.
c.
Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi
saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi
antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32
dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ٱدۡخُلُواْ
ٱلۡجَنَّةَ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٣٢
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu
kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
“Tidak
akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”
(HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada
pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua
cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu
bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena
ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena
menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan
dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal
perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya,
mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR.
Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas
berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti
imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
d. Membandingkan
pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama
salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang
bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu(al-tafsir bi
al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1)
membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat
al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak
menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan
yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari
titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih
salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
e.
Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini
letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan
metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.
BAB 3 KESIMAPULAN DAN PENUTUP
Pada dasarnya penafsiran Al-qur’an adalah cara manusia dengan segala
keterbatasannya untuk mengetahui maksud dari ayat Al-qur’an dan mengambil
manfaat atau istinbat (intisari) dari pemahaman itu untuk dijadikan
petunjuk.
Dengan demikian, tafsir mempunyai kebenaran yang bersifat
relatif dan terikat dengan ruang, waktu dan kondisi sosial masyarakat yang ada.
Tafsir dituntut agar terus menerus diperbarui agar manfaatnya tidak lekang oleh
perkembangan dari masa ke masa.
1. Garis besarnya ada empat cara
(metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai sekarang, yaitu
:ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy
(tematik)
2. Yang paling populer dari keempat
metode penafsiran, menurut Dr. Quraish Shihab adalah : metode tahliliy
(analistis), dan metode mawdhu’iy (tematik) namun disamping populer menurut
para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki
kelebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Diambil dari internet
1.
M. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik
atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Quran, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 3.
2.
M. Dawam Rahardjo, Paradigma
Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, (Jakarta: Pusat Studi Agama
Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), h. 22
3.
Ahmad Ash-Shauwiy, Mukjizat
Al-Quran dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Preass, 1995), h.
24.
4. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I,
2003. hlm. 196
5. Prof. Dr.Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000. hlm. 66-77
6. Prof. Dr. Quraish Shihab. dkk., Sejarah
dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999. hlm. 186–192.
Nama situs web : https://ahmadyanismy.blogspot.co.id/2015/03/metode-metode-penafsiran-al-quran.html// diakses pada hari selasa, tanggal 27 September 2016, jam
11.20 WIB.